Minggu, 30 April 2017

Perempuan Masa Kini, Sanggupkah?








Berawal karena dulu sempat mengerjakan latihan soal bahasa Indonesia, di situ ada teks yang membandingkan tentang perempuan di zaman sekarang dengan perempuan di zaman dulu. Jujur ini adalah teks yang paling mengena sepanjang sejarah hidup aku. (#lebayy). Apa? Lebay? Iya emang lebay. Hahah..
Kembali ke topik pembicaraan, jadi apa kira-kira yang menarik? Cuma satu hal. Satu hal itu adalah bahwa beban yang dipikul perempuan sekarang jauh lebih berat dibanding perempuan zaman ibu-ibu kita. Malah kalau dipikir-pikir juga lebih berat dibanding laki-laki. Kok bisa?

Tentu bisa. Ada tiga beban yang dipikul perempuan masa kini. Dimulai dari beban pertama. Perempuan masa kini dituntut memiliki karier yang sukses. Ini adalah era globalisasi di mana kesuksesan seseorang selalu diukur dari seberapa besar gajinya, seberapa padat hari-harinya, seberapa mahal sepatunya. Yes! It's all about material! Hal-hal itu gak bisa kita pungkiri, meskipun gak menutup kemungkinan beberapa orang memilih untuk gak menganut faham itu. Ini juga salah satu akibat dari emansipasi wanita yang dulu diperjuangkan Kartini. (#makasihloyakartini). Dahulu perempuan tidak diberikan kesempatan untuk terjun di dunia luar. Sekarang saat kesempatan itu sudah terbuka lebar ya harus kita gunakan dengan sebaik-baiknya. Menurutku pribadi sih, beban pertama ini juga demi anak cucu kita nanti. Kalau perempuan masih terus bergantung sama laki-laki, bagaimana nasib anak cucu kita nanti di saat karier suami sedang tidak baik? Masa depan gak ada yang bisa memprediksi, kan. Di saat itulah kita berperan. Meskipun begitu, tetap ada batasannya, ya. Setinggi-tingginya karier perempuan, tetap yang menjadi kepala keluarga adalah laki-laki.




Beban selanjutnya. Perempuan masa kini dituntut untuk mengenyam pendidikan yang setinggi-tingginya. Seseorang yang berpendidikan tinggi akan lebih dihargai oleh masyarakat ketimbang yang berpendidikan seadanya. Hal ini menjadi semakin kuat karena dalam Islam pun, Allah berjanji akan menaikkan derajat orang yang berilmu. Ini juga erat hubungannya dengan hal yang pertama tadi, karena karier yang bagus dan jabatan yang mapan membutuhkan seseorang dengan pendidikan dan kompetensi yang baik. Pendidikan juga merupakan hal pokok yang Kartini perjuangkan pada masanya. Beliau dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang mengatakan bahwa, "Bagaimana seorang ibu bisa mendidik anaknya dengan baik apabila ia tidak memiliki pendidikan yang baik juga?" Alhamdulillah pernah baca buku fenomenal ini waktu SMP. (#sombong). Yang perlu diingat, pendidikan yang dimaksud gak cuma berkaitan pendidikan formal, tapi juga keterampilan dan pendidikan moral.




Beban terakhir -- yang merupakan beban perempuan dari masa ke masa dan gak akan pernah selesai -- yaitu perempuan dituntut untuk pandai mengurus persoalan domestik. Di dalamnya mencakup masalah dapur dan buah hati. Kalau dua hal sebelumnya yang menjadi komentator adalah masyarakat modern, lain halnya dengan masalah domestik. Masyarakat tradisional menganggap perempuan yang baik adalah yang cakap dalam hal rumah tangga. Khusus masalah dapur, sekarang ini sudah bukan menjadi kriteria utama sosok perempuan yang baik lho, tapi dalam hal mendidik anaknya, hukumnya masih fardhu 'ain, hehe. Hal terakhir ini ya emang gak bisa dihindari sih, karena memang ini kodrat perempuan. Namun bukan berarti karena ini kodrat perempuan lalu kita jadi melupakan bahkan menghindar dari dua hal sebelumnya. Jangan sampai karena alasan patuh pada orang tua, patuh pada suami, taat pada ajaran agama, atau menganut budaya setempat membuat kita para perempuan menjadi takut untuk berhadapan dengan jadwal yang sibuk, tak sanggup menduduki jabatan yang prestise, ragu merintis bisnis, tak mau mengenyam pendidikan yang tinggi, bahkan takut untuk bercita-cita! Inilah yang disebut sindrom Cinderella Complex. Percaya gak percaya, di zaman yang udah serba canggih ini, masih banyak sekali perempuan di planet ini mengidap sindrom tersebut. Kebanyakan dari mereka takut menghadapi dua hal tersebut hanya karena khawatir urusan domestik mereka menjadi berantakan. Gak jarang mereka ini orang-orang dari kalangan ibu rumah tangga yang udah gak sempat lagi karena sibuk merawat anaknya, tapi ada juga dari kalangan yang masih belum menikah.




Dengan demikian, emansipasi wanita yang sejak lama diperjuangkan gak hanya memberikan pengaruh positif tapi juga pengaruh negatif buat kita kaum perempuan. Tantangan yang dihadapi perempuan menjadi semakin berat. Kalau kita intip kaum laki-laki, mereka gak mungkin dituntut menguasai ketiga hal itu sekaligus ya kan? Apalagi persoalan domestik hahaha.. Di lain sisi, perempuan juga punya batasan waktu. Dalam memenuhi tuntutan yang banyak itu, kita tetap gak bisa terus-menerus berpetualang dengan bebas, disaat kita lagi PMS petualangan kita pasti jadi badmood. Lho..?! Eh maaf maksud saya, disaat nanti anak kita membutuhkan kasih sayang kita, petualangan kita akan sedikit terhambat. (#lawakmas).




Pada dasarnya, emansipasi wanita yang sekarang sudah kita raih ini masih tetap harus kita perjuangkan dengan memanfaatkannya secara baik. Jangan sampai emansipasi wanita dijadikan alat untuk melakukan sesuatu yang tidak semestinya dan melanggar aturan sehingga bukannya perempuan mendapat kedudukan yang semakin baik tetapi justru malah menjadi semakin diremehkan masyarakat. Oleh karena itu, ketiga hal tersebut haruslah dijalani dengan seimbang.